Monday, February 14, 2011

[iNsAN tERPuJi]

MAHATMA GANDHI (Komentar mengenai karakter Muhammad di YOUNG INDIA ):


Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia… Saya lebih dari yakin bahawa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang ) menyingkirkan segala halangan. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih kerana tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.

Jumaat. 
Usai melaksanakan solat sunat aku melabuhkan punggung di tengah-tengah saf. Itu adalah tempat yang sama yang selalu menjadi medan komunikasi saat diri menghadap ILAHI. 

Muazzin melaungkan azan buat kali kedua. Khatib bingkas, bangkit menuju mimbar. Mula membaca teks ucapan khutbah yang telah tersedia. Pandangan aku tika itu lekat di tirai putih yang menerima panahan cahaya dari projektor yang digantung di langit masjid yang megah terbina. Masjid yang pertama di Terengganu dan di Malaysia yang menggunakan khutbah multimedia di mana jemaah tidak lagi tersengguk-sengguk menahan mata yang mengantuk, tapi mereka turut berpeluang megetahui isi kandungan khutbah yang akan disampaikan.

'Muhammad Habibullah'

Itulah tajuk khutbah Jumaat yang akan dibacakan kali ini sebagai memperingati insan teragung yang pernah hidup dimuka bumi 1400 tahun dahulu.

Semua mata jemaah menumpu.

Khutbah terus berlangsung.

“Wahai Jibril, jelaskan kepadaku tentang hak-hakku di hadapan Allah!”, Rasulullah saw. meminta dengan suara yang sangat lemah.
“Pintu-pintu langit telah dibuka. Para malaikat sedang menunggu ruh Anda. Semua pintu Surga terbuka luas menunggu Anda” kata Jibril.
Namun, kenyataannya, jawaban itu tidak membuat Rasulullah saw. lega.
Matanya masih penuh kekhawatiran.
“Anda tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril.
“Ceritakan tentang nasib umatku di masa depan?” kata Rasulullah saw.
“Jangan khawatir, wahai Rasulullah, saya mendengar Allah berkata:” Aku haramkan Surga untuk semua orang, sebelum umat Muhammad memasukinya, ” kata Jibril.

Saat ini, kolam mataku bergenang. Aku menahan tangis dari terus beresakan.

Khatib yang tadinya khusyuk membaca khutbah terhenti. Agak lama. Kemudian, dia menyambung kembali khutbahnya dalam sedu sedan dan linagan airmata. 

Saat ini, aku perhatikan ramai yang menunduk menekup muka.

Khutbah terus disambung.

"Waktu bagi malaikat Izrail melakukan pekerjaannya semakin dekat dan dekat.
Perlahan-lahan, ruh Rasulullah saw. dicabut.
Tampak tubuh Rasulullah saw. bermandikan peluh, saraf lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit ini!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam sallalahu mengerang dengan perlahan.
Fatimah memejamkan mata, Ali yang duduk di sampingnya tertunduk dalam dan Jibril pun memalingkan mukanya.
“Apakah aku sedemikian menjijikkan sehingga engkau memalingkan muka wahai Jibril?” Rasulullah saw. bertanya.
“Siapa yang bisa tahan melihat Kekasih Allah di ambang sakaratul mautnya?” kata Jibril.
“Bukan untuk berlama-lama,” kemudian Rasulullah saw. mengerang karena sakit yang tak tertahankan.
Ya Allah betapa besar Sakaratul maut ini. Berikan kepadaku semua rasa sakit, tapi jangan untuk Umatku.
Tubuh Rasulullah saw. mendingin, kaki dan dadanya tidak bergerak lagi.
Dengan berlinang air mata, bibirnya bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu.
Ali mendekatkan telinganya ke Rasulullah saw., “Jagalah shalat dan jagalah orang-orang lemah di antara kamu.”
Di luar ruangan, ada tangisan, ada kegaduhan. Para sahabat saling berpelukan. Fatimah menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Sekali lagi, Ali mendekatkan telinganya ke Rasulullah saw. dan dengan mulut yang telah membiru serta air mata berlinang, Rasulullah berucap lirih: “Ummatii , Ummatii, Ummatii…” “Umatku, umatku, umatku…

Airmata yang aku tahan akhirnya gugur jua. Dapat aku dengari dengan jelas tangis dan sendu hiba yang melatari suasana. Semuanya diasak sedih, begitu pedih. 

"Mengingati mu ya Habiballah mengundang hiba. Sedih tidak terkira. Apakah aku pengikutmu yang setia, yang senantiasa melaksanakan suruhan agama? Adakah aku menjalani kehidupan dengan bekal yang kau tinggalkan; yakni dua perkara? Sedang engkau, 1400 tahun dahulu masih merintih memikirkan nasib umatmu saat sakaratulmaut didepan mata."




No comments:

Post a Comment